Sejarah Tempe
Tempe berasal di Pulau Jawa paling sedikit
beberapa abad lalu. Pada waktu itu orang-orang Jawa, tanpa pelatihan
formal di mikrobiologi atau kimia, mengembangkan sebuah makanan
difermentasi yang luar biasa disebut tempe[1].
Tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai. Yang pasti, makanan
tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam
tatanan budaya makan masyarakat Jawa.
Referensi tertua didunia yang diketahui menyebut tempe secara
spesifik adalah manuskrip serat centhini. Dalam bab 3 dan bab 12
manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 (Serat Centhini
sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah ditemukan kata “tempe”,
misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis
masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan.
Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa
mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari
masyarakat pedesaan tradisional Jawa—mungkin dikembangkan di daerah
Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16[2].
Kata “tempe” diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa
Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang
disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki
kesamaan dengan makanan tumpi tersebut[3]
Kandungan Gizi
Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga
dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit
degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker,
dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri
penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung,
hipertensi, dan lain-lain.
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya
tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya
enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak,
dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh
dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat
baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga
lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur.
Dibandingkan dengan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan
pada tempe. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar
padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas,
nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah
dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada
dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita
gizi buruk dan diare kronis.
Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk
akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan
kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa,
yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung
perut).
Mutu gizi tempe yang tinggi memungkinkan penambahan tempe untuk
meningkatkan mutu serealia dan umbi-umbian. Hidangan makanan sehari-hari
yang terdiri dari nasi, jagung, atau tiwul akan meningkat mutu gizinya
bila ditambah tempe.
Sepotong tempe goreng (50 gram) sudah cukup untuk meningkatkan mutu
gizi 200 g nasi. Bahan makanan campuran beras-tempe, jagung-tempe,
gaplek-tempe, dalam perbandingan 7:3, sudah cukup baik untuk diberikan
kepada anak balita.
Vitamin
Dua kelompok vitamin terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B
kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan
sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung
dalam tempe antara lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam
pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan B12
(sianokobalamin).
Vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani dan tidak
dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian),
namun tempe mengandung vitamin B12 sehingga tempe menjadi satu-satunya
sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Kenaikan kadar
vitamin B12 paling mencolok pada pembuatan tempe; vitamin B12
aktivitasnya meningkat sampai 33 kali selama fermentasi dari kedelai,
riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin 2-5
kali, biotin 2-3 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat 2 kali
lipat. Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh
bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter
freundii.
Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar antara 1,5 sampai 6,3
mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah dapat mencukupi
kebutuhan vitamin B12 seseorang per hari. Dengan adanya vitamin B12 pada
tempe, para vegetarian tidak perlu merasa khawatir akan kekurangan
vitamin B12, sepanjang mereka melibatkan tempe dalam menu hariannya.
footnote :1. ^A Chapter from the Unpublished Manuscript, History of Soybeans and Soyfoods: 1100 B.C. to the 1980s by William Shurtleff and Akiko Aoyagi.
2. ^ Astuti, M. (1999) History of the Development of Tempe. Di dalam Agranoff, J (editor dan penerjemah), The Complete Handbook of Tempe: The Unique Fermented Soyfood of Indonesia, hlm. 2–13. Singapura: The American Soybean Association.
3. ^ Syarief, R.; dkk. (1999). Wacana Tempe Indonesia. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala, hlm. 2. ISBN 979-8142-16-0.
0 Response to "Sejarah Tempe"
Post a Comment