Sejarah Sambal
Kebanyakan lidah orang Indonesia menganggap makan tanpa sambal
terasa belum lengkap. Hampir semua masakan Nusantara selalu diiringi
dengan sambal. Bahkan di Menado, pisang goreng pun dimakan dengan
sambal. Kalau pun sambal tak tersedia di
meja, beberapa potong gerusan cabai merah atau beberapa potong cabai
rawit dicepluskan ke mulut sebagai teman makan.
Perkara kebiasaan makan sambal ini terbawa sampai di luar negeri.
Alasannya, masakan yang disantap terasa hambar, belum pedas. Apalagi
bila ada sambal yang tersedia pun tidak sepedas sambal dari tanah air.
Maklum saja lidah dan perut orang asing berbeda dengan kita. Oleh karena
itu sambal botolan menjadi pilihan untuk dibawa. Untungnya ada sambal
botolan. Coba bila harus mengulek sendiri dengan membawa serta cobek
batunya. Bayangkan berapa berat bagasi yang harus dibawa.
Mengapa sambal begitu populer di Nusantara dan nyaris menjadi makanan
utama, bukan sekedar pelengkap? Hal ini dikarenakan seni kuliner
Nusantara bersifat hidangan dingin. Sehingga cabai menjadi hal penting
dalam setiap masakan. Rasa pedas cabe tidak hanya memberikan rasa yang
menggugah selera tetapi juga memiliki fungsi sebagai pengganti
temperatur panas.
Jacob de Bondt alias Bontius, dokter VOC yang juga dokter pribadi Jan
Pieterszoon Coen pernah menyebut adanya Ricino Brasiliensi atau lada
Chili vocato. Menurutnya ini adalah lombok, cabai merah atau yang
dikenal sebagai cabai Brazil. Orang Brazil sendiri menyebutnya Chili
lada. Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal kata nama ricino
dari recche atau reche berasal dari bahasa Portugis. Kata ini
mengingatkan kita pada kata rica yang juga mengacu pada cabai atau
lombok. Tentu kita ingat ‘rica-rica’, masakan khas Menado. Namun, kata
reche menurut pendeta P.J Veth tidak ditemui dalam kamus Portugis. Veth
berpendapat bahwa yang disebut Spaanse peper, cabai Spanyol adalah
Capsicum alias cabai Brazil. Pendapatnya ini juga menolak anggapan bila
cabai dibawa oleh orang Portugis dari West Indien/Hindia Barat (Amerika
Tengah dan Selatan) ke Hindia Timur pada penghujung abad ke-16.
Pendapat Veth beralasan bahwa cabai pun telah ada sebelumnya. Seperti
yang diungkapkan oleh arkeolog Titi Surti Nastiti bahwa cabai pada masa
Jawa Kuno telah menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual.
Bahkan menurut Nastiti dalam teks Ramayana dari abad ke-10, cabai juga
sudah disebut sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan.
Namun, setidaknya kata reche atau ritsjes pernah populer pada 1669 yang dapat diketahui dari syair Van Overbeeke di Batavia:
“Soya, Gengber, Loock en Ritsjes
Maeckt de maegh wel scharp en spitsjes”.
(Kedelai, jahe, bawang putih dan cabai
Membuat perut melilit karena pedas dan diaduk-aduk)
“Soya, Gengber, Loock en Ritsjes
Maeckt de maegh wel scharp en spitsjes”.
(Kedelai, jahe, bawang putih dan cabai
Membuat perut melilit karena pedas dan diaduk-aduk)
Pendeta Valentijn pun menyebutkan ada tiga jenis cabai merah. Yaitu
cabai merah besar, cabai merah kecil dan cabai kecil yang berwarna
kekuningan.
Para budak pada masa VOC yang mahir membuat sambal mendapatkan tempat
‘khusus’ karena disenangi para majikannya. Bisa jadi ‘harga pasaran’
mereka menjadi cukup tinggi.
Sementara itu dalam turisme, sambal pun mendapat catatan tersendiri.
Dalam beberapa buku panduan turisme dituliskan peringatan kepada para
calon turis untuk “berhati-hati” dalam mengkonsumsi sambal yang pedas
karena ini berurusan dengan kesehatan perut. Tentu tidak akan
mengesankan bila liburan terganggu karena masuk rumah sakit gara-gara
menikmati sesendok sambal.
Namun, tetap saja ada juga turis yang tetap nekat ingin mencicipi.
Seperti pengalaman dari Justus van Maurik, pengusaha cerutu asal
Amsterdam yang mengunjungi Batavia akhir abad ke-19. Ia menuturkan: “
Salah satu dari hidangan dalam rijsttafel yang menarik perhatian saya
adalah Spaanse peper (lada Spanyol/cabai rawit). Suatu kali saya pernah
melihat seorang nona muda dengan pipinya yang kemerahan menikmati lada
spanyol seperti menikmati permen bon-bon. Matanya tidak berair. Rasanya,
saya tak akan bisa menikmati hidangan itu seperti dirinya karena saya
pernah merasakan pedasnya Lombok setan itu. Mulut saya terbuka dan mata
sepertinya mau keluar karena rasa panas dan pedas. Rasanya mau meledak.
Ini semua gara-gara rasa penasaran dan bisikan pelayan yang menawari
saya sambil berbisik: Sambal, toewan?”
Demikian pula pengalaman jurnalis perempuan yang juga seorang guru,
Augusta de Wit yang juga mengunjungi Batavia. Pengalamannya yang tak
akan terlupakan adalah ketika ia untuk pertama kali mencicipi sambal.
Bibirnya langsung gemetar kepedasan. Leher terasa panas seperti terbakar
sehingga harus diguyur air. Sementara itu air mata bercucuran.
Untunglah ada seorang pengunjung yang kasihan dan menyarankan agar ia
menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun menuruti nasihat itu dan tak lama
kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia
masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun,
ternyata ia melanggar sumpahnya tersebut. Ia malah suka dan terbiasa
dengan hidangan pedas itu.
Louis Couperus dalam Oostwaarts (1992, 1924) mengingatkan para turis
yang belum pernah mencicipi dasyhatnya sambal oelek untuk berhati-hati.
“Sebaiknya,” tulis Couperus, “…sambal itu jangan dicampur di nasi,
tetapi letakkan di pinggir piring.” Lalu “Setiap suap nasi yang diiringi
daging ayam, sapi atau ikan dicocolkan sedikit sambal.”
Memang selain garam, sebagai cara menghilangkan rasa pedas membakar
di mulut, dianjurkan meneguk susu, yoghurt. Jangan minum air apalagi air
es. Bergelas-gelas air tak akan mampu memadamkan panasnya cabai. Selain
susu, bisa juga dengan mengunyah roti, kerupuk, nasi tapi tentunya
jangan dicocolkan ke sambal lagi.
Dalam buku resep lama, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek
karya J.M.J Catenius van der Meijden (1903) yang juga buku pegangan
wajib para perempuan Belanda sebelum datang ke Hindia, tercantum resep
“Sambal Bajak”. Sambal ini berpenampilan kasar, persis sawah yang baru
dibajak. Atau “Sambal Serdadu”, sambal terasi yang khusus disiapkan
untuk bekal para serdadu pada saat ekspedisi atau bertempur. Bahkan pada
masa itu, para keluarga Indo ada yang gemar mengoleskan sambal sebagai
beleg (isi roti) di atas rotinya.
0 Response to "Sejarah Sambal"
Post a Comment